Prosedur Pelayanan Pasien Rawat Jalan...
Wira Firmalinda, SKM, M.I.Kom | 24 September 2020 09:58:18 WIB | 836 kali dilihat.
Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data WHO pada tahun 2016, terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena demensia. Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial dengan keanekaragaman penduduk, maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang. Berdasarkan fakta-fakta permasalahan kesehatan jiwa tersebut, World Health Organization (WHO) dan World Federation for Mental Health (WFMH) berupaya menekankan penyelesaian permasalahan kesehatan jiwa dari akarnya.
Kesehatan jiwa merupakan bagian penting terhadap terciptanya sumber daya manusia Indonesia yang produktif dan sekaligus merupakan aset bangsa yang berharga. Untuk itu, menjaga kesehatan jiwa seluruh masyarakat Indonesia merupakan tugas semua pihak, terutama keluarga yang merupakan garda terdepan dalam menjaga kesehatan jiwa anggota keluarganya. Bentuk nyata peran tersebut berupa dukungan psikologis sebagai hak untuk dihargai dan mendapatkan perlakuan layak, menghapus diskriminasi dan stigma terhadap anggota keluarga atau siapapun yang memiliki gangguan jiwa, sehingga mereka dapat tetap dapat dihargai selayaknya manusia bermartabat yang perlu dibantu untuk mendapatkan kembali kehidupan yang berkualitas.
Pemberdayaan keluarga ini sebagai cara yang efektif untuk menutup gap terhadap stigma negatif bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dan keluarganya, membantu permasalahan kesehatan jiwa secara lebih efektif dan berdampak lebih nyata. Dengan adanya peran keluarga, diharapkan muncul keterbukaan dan pemahaman terhadap anggota keluarga yang mengalami gejala gangguan jiwa, tidak lagi mengucilkan dan mendiskreditkan permasalahan kesehatan jiwa anggota keluarganya, bahkan sebaliknya justu menjadi sistem pendukung yang kuat yang dapat membantu mengembalikan keluarga mereka kekehidupan yang berkualitas dan bermartabat.
Pernyataan diatas sangat berbeda dengan kondisi dilapangan selama ini diamati rendahnya peran keluarga dalam penatalaksanaan orang dengan gangguan jiwa. Keluarga cenderung enggan mengurus anggota keluarganya, hal ini tercermin dari tingginya kasus residifis yaitu pasien yang kembali masuk rawatan rawat inap padahal baru saja diizinkan pulang oleh psikiater. Oleh karena itu “Pembuatan Kelas Sehat Jiwa untuk Orang dengan Gangguan Jiwa dan Keluarga di RSJ Prof. HB. Sa’anin Padang” diharapkan dapat mengoptimalkan peran keluarga dalam penatalaksanaan orang dengan gangguan jiwa. (humas_hbsaanin)